Intervensi Trauma (Kekerasan Seksual yang Terjadi di Indonesia)
Bab 1
Ulasan Kasus
Ada
ungkapan yang mengatakan Indonesia Darurat Kekerasan terhadap Perempuan, dan
saya setuju hal itu. Sepanjang tahun 2016 ini, kita digegerkan dengan berbagai
pemberitaan terkait kekerasan seksual pada perempuan dan anak-anak yang terjadi
di Indonesia. Bahkan kekerasan seksual yang identik dengan pemerkosaan tersebut
tidak hanya dilakukan dengan pemaksaan berhubungan seksual, namun juga dengan
membunuh secara kejam pada korbannya.
Memang sejak dulu sudah
ada kasus kekerasan seksual yang terjadi, seperti antara anak dengan orangtua,
dengan kakeknya, dengan orang tak dikenal, namun tidak pernah sampai berurutan
dan parah seperti yang terjadi di tahun ini. Parah yang saya maksudkan adalah
naiknya jumlah korban pra remaja mulai dari usia taman kanak-kanak hingga usia
belasan awal, sedangkan pelakunya masih usia remaja, bahkan dibawah umur.
Selain itu korban tidak hanya perempuan berusia remaja atau dewasa awal, bahkan
anak kecil dan laki-laki pun ikut dijadikan korban kekerasan seksual yang
dilakukan baik oleh lawan jenis maupun sesama jenis.
Bertambah tahun tidak
membuat kasus kekerasan seksual semakin mereda, namun semakin merajalela.
Berbagai saran maupun upaya yang dilakukan pemerintah, namun belum juga ada
tindakan yang mampu mencegah kekerasan seksual. Belum ada juga upaya yang
dilakukan pemerintah untuk menangani korban kekerasan seksual. Banyak artikel
yang bermunculan mengenai mengapa dan bagaimana terjadinya kekerasan seksual,
namun minim artikel yang berisikan bagaimana cara untuk memulihkan kondisi
korban kekerasan seksual. Bukan berarti saya menganggap semua pihak menutup
mata dan tidak melakukan apapun, namun jika kasus kekerasan seksual masih saja
terjadi itu berarti para pelaku tidak takut terhadap norma maupun hukuman yang
ditimpakan apabila mereka melakukan kekerasan seksual.
Komnas perempuan mencatat
kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia per Januari 2016 naik menjadi
peringkat kedua dengan jumlah kasus pemerkosaan mencapai 2.399 kasus atau 72
persen, pencabulan mencapai 601 kasus atau 18 persen, sementara kasus pelecehan
seksual mencapai 166 kasus atau 5 persen. Perhitungan ini belum termasuk
kekerasan seksual yang tidak terdeteksi oleh masyarakat atau tidak dilaporkan
karena alasan faktor budaya. Jumlah faktual di masyarakat diyakini jauh lebih
tinggi, karena perempuan masih enggan melaporkan kasus perkosaan atau pelecehan
seksual yang dialaminya. Alasan utamanya adalah karena dalam proses hukum,
perempuan akan kembali menjadi korban untuk kedua kalinya.
Kasus-kasus kekerasan ini
cenderung disimpan atau ditutup oleh korbannya karena dianggap sebagai aib.
Selain terkait persoalan tabu, juga ini adalah persoalan dukungan sosial yang
tidak tersedia bagi korban di masyarakat, karena budaya perkosaan atau rape
culture yang kuat di dalam masyarakat kita, yakni menyalahkan korban, karena
dianggap perempuanlah penyebab terjadinya pelecehan atau pemerkosaan. Tidak
hanya penanganan kasus hukum kepada pelakunya, yang lebih penting lagi adakah
pendampingan dan perlindungan bagi korban kekerasan seksual.
Beberapa kasus kekerasan
seksual yang membuat heboh masyarakat Indonesia antara lain, kasus pemerkosaan
bekelompok dan pembunuhan yang dilakukan oleh 14 orang atas siswa SMP di
Bengkulu, di kebun karet (kasus YY), kasus pencabulan oleh lima laki-laki yang
dua diantaranya merupakan guru olahraga dan tiga lainnya masih remaja terhadap
dua anak perempuan dibawah umur di Sleman, DIY. Mencuat juga kasus yang serupa
dengan pemerkosaan terhadap korban YY di Manado, ada juga kasus empat bocah SD
di Tangerang Selatan menjadi korban Asusila siswa SMP, guru mengaji di Jakarta
Pusat yang mencabuli bocah SMP murid pengajiannya, ayah di Depok yang tega
menyetubuhi anak kandungnya selama sembilan tahun hingga hamil dua bulan, dan
masih banyak lagi.
Pada kesempatan ini saya
mengangkat kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh tiga orang terhadap Eno
Parihah yang merupakan karyawati pabrik yang tewas dengan kondisi gagang cangkul di kemaluannya.
Eno Parihah (18) ditemukan tewas pada Jumat pagi 13 Mei 2016 di mess pabrik di
daerah Jatimulya, kabupaten Tangerang. Polisi menetapkan tiga tersangkat yang
salah satunya adalah seorang pelajar SMP. Ketiga tersangka masing-masing
berumur RAL (15), RA (23) (teman kerja Eno) dan IP (23) tahun. Pembunuhan sadis
yang menimpa Eno Parihah ini berawal dari kedatangan RAL yang main ke mess
korban pada kamis malam. RAL masuk ke dalam kamar mess Eno dan Eno menolak
untuk diajak berhubungan intim oleh RAL. Karena ditolak, pelajar SMP ini marah
dan keluar kamar.
Diluar kamar RAL bertemu
dengan RA dan IH yang juga marah dengan Eno karena ditolak. Meski sebelumnya
RAL dan kedua pria tersebut tidak saling kenal, karena mereka memiliki rasa
kecewa yang sama, ketiganya langsung masuk kamar dan memperkosa Eno secara
bergantian. Setelah puas memperkosa, salah satu tersangka mengambil cangkul
yang ada di dekat kamar Eno dan memasukkan gagang cangkul tersebut ke kemaluan
Eno yang kemudian di tendang bagian ujung cangkulnya hingga masuk ke dalam
kemaluan Eno. Foto hasil scan tubuh Eno menunjukkan gagang pacul tersebut
merusak organ tubuh bagian dalam, tembus ke paru-paru dan dada. Hal tersebut terungkap
dalam rekonstruksi yang dilakukan petugas gabungan pada Minggu malam, 15 Mei
2016.
Melihat kasus yang
menimpa Eno Parihah ini, saya membuat rancangan penanganan khususnya bagi kaum
perempuan. Rancangan penanganan yang saya buat ini bertujuan untuk membantu
kaum perempuan dalam mencegah dirinya sendiri menjadi korban kekerasan seksual.
Bab 2
Landasan Teori
Menurut
Ricard J. Gelles (Hurairah, 2012), kekerasan terhadap anak merupakan perbuatan
disengaja yang menimbulkan kerugian atau bahaya terhadap anak-anak (baik secara
fisik maupun emosional). Bentuk kekerasan terhadap anak dapat diklasifikasikan
menjadi kekerasan secara fisik, kekerasan secara psikologi, kekerasan secara
seksual dan kekerasan secara sosial.
Kekerasan seksual terhadap anak menurut End
Child Prostitution in Asia Tourism (ECPAT) Internasional merupakan hubungan
atau interaksi antara seorang anak dengan seorang yang lebih tua atau orang
dewasa seperti orang asing, saudara sekandung atau orang tua dimana anak
dipergunakan sebagai objek pemuas kebutuhan seksual pelaku. Perbuatan ini
dilakukan dengan menggunakan paksaan, ancaman, suap, tipuan bahkan tekanan.
Kegiatan-kegiatan kekerasan seksual terhadap anak tersebut tidak harus
melibatkan kontak badan antara pelaku dengan anak sebagai korban. Bentuk-bentuk
kekerasan seksual itu sendiri bisa dalam tindakan perkosaan ataupun pencabulan
(Sari, 2009).
Menurut Lyness (Maslihah, 2006) kekerasan seksual terhadap anak
meliputi tindakan menyentuh atau mencium organ seksual anak, tindakan seksual
atau pemerkosaan terhadap anak, memperlihatkan media/benda porno, menunjukkan
alat kelamin pada anak dan sebagainya. Kekerasan seksual (sexual abuse)
merupakan jenis penganiayaan yang biasanya dibagi dua dalam kategori berdasar
identitas pelaku, yaitu:
a. Familial Abuse
Termasuk
familial abuse adalah incest, yaitu kekerasan seksual dimana
antara korban dan pelaku masih dalam hubungan darah, menjadi bagian dalam
keluarga inti. Dalam hal ini termasuk seseorang yang menjadi pengganti orang
tua, misalnya ayah tiri, atau kekasih, pengasuh atau orang yang dipercaya
merawat anak. Mayer (Tower, 2002) menyebutkan kategoriincest dalam
keluarga dan mengaitkan dengan kekerasan pada anak, yaitu kategori pertama,
penganiayaan (sexual molestation), hal ini meliputi interaksi noncoitus,
petting, fondling, exhibitionism, dan voyeurism, semua hal yang
berkaitan untuk menstimulasi pelaku secara seksual. Kategori kedua, perkosaan (sexual
assault), berupa oral atau hubungan dengan alat kelamin, masturbasi,
stimulasi oral pada penis (fellatio), dan stimulasi oral pada klitoris (cunnilingus).
Kategori terakhir yang paling fatal disebut perkosaan secara paksa (forcible
rape), meliputi kontak seksual. Rasa takut, kekerasan, dan ancaman menjadi
sulit bagi korban. Mayer mengatakan bahwa paling banyak ada dua kategori
terakhir yang menimbulkan trauma terberat bagi anak-anak, namun korban-korban sebelumnya
tidak mengatakan demikian.
b. Extra Familial Abuse
Kekerasan
seksual adalah kekerasan yang dilakukan oleh orang lain di luar keluarga
korban. Pada pola pelecehan seksual di luar keluarga, pelaku biasanya orang
dewasa yang dikenal oleh sang anak dan telah membangun relasi dengan anak
tersebut, kemudian membujuk sang anak ke dalam situasi dimana pelecehan seksual
tersebut dilakukan, sering dengan memberikan imbalan tertentu yang tidak
didapatkan oleh sang anak di rumahnya. Sang anak biasanya tetap diam karena
bila hal tersebut diketahui mereka takut akan memicu kemarah dari orangtua
mereka. Selain itu, beberapa orangtua kadang kurang peduli tentang di mana dan
dengan siapa anak-anak mereka menghabiskan waktunya. Anak-anak yang sering
bolos sekolah cenderung rentan untuk mengalami kejadian ini dan harus
diwaspadai.
Kekerasan seksual yang dilakukan di bawah
kekerasan dan diikuti ancaman, sehingga korban tak berdaya itu disebut
molester. Kondisi itu menyebabkan korban terdominasi dan mengalami kesulitan
untuk mengungkapnya. Namun, tak sedikit pula pelaku kekerasan seksual pada anak
ini melakukan aksinya tanpa kekerasan, tetapi dengan menggunakan manipulasi
psikologi. Anak ditipu, sehingga mengikuti keinginannya. Anak sebagai individu
yang belum mencapai taraf kedewasaan, belum mampu menilai sesuatu sebagai tipu
daya atau bukan.
Kekerasan seksual terhadap anak dapat dilihat dari sudut pandang
biologis dan sosial, yang kesemuanya berkaitan dengan dampak psikologis pada
anak. Secara biologis, sebelum pubertas, organ-organ vital anak tidak disiapkan
untuk melakukan hubungan intim, apalagi untuk organ yang memang tidak ditujukan
untuk hubungan intim. Jika dipaksakan, maka tindakan tersebut akan merusak
jaringan. Ketika terjadi kerusakan secara fisik, maka telah terjadi tindak
kekerasan. Sedangkan dari sudut pandang sosial, karena dorongan seksual
dilampiaskan secara sembunyi-sembunyi, tentu saja pelaku tidak ingin diketahui
oleh orang lain. Pelaku akan berusaha membuat anak yang menjadi sasaran ‘tutup
mulut’.
Didalam melakukan kekerasan seksual terhadap anak, biasanya ada
tahapan yang dilakukan oleh pelaku. Dalam hal ini, kemungkinan pelaku mencoba
perilaku untuk mengukur kenyamanan korban. Jika korban menuruti, kekerasan akan
berlanjut dan intensif, berupa (Sgroi dalam Tower, 2002): 1) Nudity (dilakukan
oleh orang dewasa); 2) Disrobing (orang dewasa membuka pakaian di depan
anak); 3) Genital exposure (dilakukan oleh orang dewasa); 4) Observation
of the child (saat mandi, telanjang, dan saat membuang air); 5) Mencium
anak yang memakai pakaian dalam; 6) Fondling (meraba-raba dada korban, alat
genital, paha, dan bokong); 7) Masturbasi; 8) Fellatio (stimulasi pada penis,
korban atau pelaku sendiri); 9) Cunnilingus (stimulasi pada vulva atau
area vagina, pada korban atau pelaku); 10) Digital penetration (pada
anus atau rectum); 11) Penile penetration (pada vagina); 12) Digital
penetration (pada vagina); 13). Penile penetration (pada anus atau rectum);
14) Dry intercourse (mengelus-elus penis pelaku atau area genital
lainnya, paha, atau bokong korban).
Dampak Kekerasan Seksual Terhadap Anak
Tindakan kekerasan seksual pada anak membawa dampak emosional dan
fisik kepada korbannya. Secara emosional, anak sebagai korban kekerasan seksual
mengalami stress, depresi, goncangan jiwa, adanya perasaan bersalah dan
menyalahkan diri sendiri, rasa takut berhubungan dengan orang lain, bayangan
kejadian dimana anak menerima kekerasan seksual, mimpi buruk, insomnia,
ketakutan dengan hal yang berhubungan dengan penyalahgunaan termasuk benda,
bau, tempat, kunjungan dokter, masalah harga diri, disfungsi seksual, sakit
kronis, kecanduan, keinginan bunuh diri, keluhan somatik, dan kehamilan yang
tidak diinginkan.
Selain itu muncul gangguan-gangguan psikologis seperti
pasca-trauma stress disorder, kecemasan, penyakit jiwa lain termasuk gangguan
kepribadian dan gangguan identitas disosiatif, kecenderungan untuk
reviktimisasi di masa dewasa, bulimia nervosa, bahkan adanya cedera
fisik kepada anak (Levitan et al, 2003; Messman-Moore, Terri Patricia, 2000;
Dinwiddie et al, 2000). Secara fisik, korban mengalami penurunan nafsu makan,
sulit tidur, sakit kepala, tidak nyaman di sekitar vagina atau alat kelamin,
berisiko tertular penyakit menular seksual, luka di tubuh akibat perkosaan
dengan kekerasan, kehamilan yang tidak diinginkan dan lainnya. Sedangkan
kekerasan seksual yang dilakukan oleh anggota keluarga adalah bentuk inses, dan
dapat menghasilkan dampak yang lebih serius dan trauma psikologis jangka
panjang, terutama dalam kasus inses orangtua.
Finkelhor
dan Browne (Tower, 2002) mengkategorikan empat jenis dampak trauma akibat
kekerasan seksual yang dialami oleh anak-anak, yaitu:
1.
Pengkhianatan (Betrayal). Kepercayaan merupakan dasar utama bagi korban
kekerasan seksual. Sebagai seorang anak, mempunyai kepercayaan kepada orangtua
dan kepercayaan itu dimengerti dan dipahami. Namun, kepercayaan anak dan
otoritas orangtua menjadi hal yang mengancam anak. 20
2. Trauma secara Seksual (Traumatic sexualization). Russel
(Tower, 2002) menemukan bahwa perempuan yang mengalami kekerasan seksual
cenderung menolak hubungan seksual, dan sebagai konsekuensinya menjadi korban
kekerasan seksual dalam rumah tangga. Finkelhor (Tower, 2002) mencatat bahwa
korban lebih memilih pasangan sesama jenis karena menganggap laki-laki tidak
dapat dipercaya.
3. Merasa Tidak Berdaya (Powerlessness). Rasa takut
menembus kehidupan korban. Mimpi buruk, fobia, dan kecemasan dialami oleh
korban disertai dengan rasa sakit. Perasaan tidak berdaya mengakibatkan
individu merasa lemah. Korban merasa dirinya tidak mampu dan kurang efektif
dalam bekerja. Beberapa korban juga merasa sakit pada tubuhnya. Sebaliknya,
pada korban lain memiliki intensitas dan dorongan yang berlebihan dalam dirinya
(Finkelhor dan Browne, Briere dalam Tower, 2002).
4. Stigmatization. Korban kekerasan seksual merasa
bersalah, malu, memiliki gambaran diri yang buruk. Rasa bersalah dan malu
terbentuk akibat ketidakberdayaan dan merasa bahwa mereka tidak memiliki
kekuatan untuk mengontrol dirinya. Anak sebagai korban sering merasa berbeda
dengan orang lain, dan beberapa korban marah pada tubuhnya akibat penganiayaan
yang dialami. Korban lainnya menggunakan obat-obatan dan minuman alkohol untuk
menghukum tubuhnya, menumpulkan inderanya, atau berusaha menghindari memori
kejadian tersebut (Gelinas, Kinzl dan Biebl dalam Tower, 2002).
Secara fisik memang
mungkin tidak ada hal yang harus dipermasalahkan pada anak yang menjadi korban
kekerasan seksual, tapi secara psikis bisa menimbulkan ketagihan, trauma,
pelampiasan dendam dan lain-lain. Apa yang menimpa mereka akan mempengaruhi
kematangan dan kemandirian hidup anak di masa depan, caranya melihat dunia
serta masa depannya secara umum.
Penanganan Kekerasan Seksual Terhadap Anak
Masa kanak-kanak adalah dimana anak sedang dalam proses tumbuh
kembangnya. Oleh karena itu, anak wajib dilindungi dari segala kemungkinan
kekerasan terhadap anak, terutama kekerasan seksual. Setiap anak berhak
mendapatkan perlindungan. Upaya perlindungan terhadap anak harus diberikan
secara utuh, menyeluruh dan komprehensif, tidak memihak kepada suatu golongan
atau kelompok anak. Upaya yang diberikan tersebut dilakukan dengan
mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi anak dengan mengingat haknya untuk
hidup dan berkembang, serta tetap menghargai pendapatnya. Upaya perlindungan
terhadap anak berarti terwujudnya keadilan dalam suatu masyarakat. Asumsi ini
diperkuat dengan pendapat Age yang dikutip oleh Gosita (1996), yang telah
mengemukakan dengan tepat bahwa “melindungi anak pada hakekatnya melindungi
keluarga, masyarakat, bangsa dan negara di masa depan”.
Ungkapan tersebut nampak betapa pentingnya upaya perlindungan anak
demi kelangsungan masa depan sebuah komunitas, baik komunitas yang terkecil
yaitu keluarga, maupun komunitas yang terbesar yaitu negara. Artinya, dengan
mengupayakan perlindungan bagi anak di komunitas-komunitas tersebut tidak hanya
telah menegakkan hak-hak anak, tapi juga sekaligus menanam investasi untuk
kehidupan mereka di masa yang akan datang. Di sini, dapat dikatakan telah
terjadi simbiosis mutualisme antara keduanya.
Selain itu,
dalam penanganan kasus kekerasan seksual terhadap anak seharusnya bersifat
holistik dan terintegrasi. Semua sisi memerlukan pembenahan dan penanganan,
baik dari sisi medis, sisi individu, aspek hukum (dalam hal ini masih banyak
mengandung kelemahan), maupun dukungan sosial. Apabila kekerasan seksual
terhadap anak tidak ditangani secara serius dapat menimbulkan dampak sosial
yang luas di masyarakat. Penyembuhan trauma psikis akibat kekerasan seksual
haruslah mendapat perhatian besar dari semua pihak yang terlibat.
Saya berfokus pada penanganan yang melibatkan individu dan
keluarganya. Berikut landasan teorinya.
Peran Individu dan Keluarga
Langkah paling sederhana untuk melindungi anak dari kekerasan
seksual bisa dilakukan oleh individu dan keluarga. Orangtua memegang peranan penting
dalam menjaga anak-anak dari ancaman kekerasan seksual. Orangtua harus
benar-benar peka jika melihat sinyal yang tak biasa dari anaknya. Namun, tak
semua korban kekerasan seksual bakal menunjukkan tanda-tanda yang mudah
dikenali. Terutama apabila si pelaku melakukan pendekatan secara persuasif dan
meyakinkan korban apa yang terjadi antara pelaku dan korban merupakan hal
wajar. Kesulitan yang umumnya dihadapi oleh pihak keluarga maupun ahli saat
membantu proses pemulihan anak-anak korban kekerasan seksual dibandingkan
dengan korban yang lebih dewasa adalah kesulitan dalam mengenali perasaan dan
pikiran korban saat peristiwa tersebut terjadi.
Anak-anak cenderung sulit mendeskripsikan secara verbal dengan
jelas mengenai proses mental yang terjadi saat mereka mengalami peristiwa
tersebut. Sedangkan untuk membicarakan hal tersebut berulang-ulang agar
mendapatkan data yang lengkap, dikhawatirkan akan menambah dampak negatif pada
anak karena anak akan memutar ulang peristiwa tersebut dalam benak mereka. Oleh
karena itu, yang pertama harus dilakukan adalah memberikan rasa aman kepada
anak untuk bercerita. Biasanya orang tua yang memang memiliki hubungan yang
dekat dengan anak akan lebih mudah untuk melakukannya.
Menurut beberapa penelitian yang dilansir oleh Protective
Service for Children and Young People Department of Health and Community
Service (1993) keberadaan dan peranan keluarga sangat penting dalam
membantu anak memulihkan diri pasca pengalaman kekerasan seksual mereka. Orang
tua (bukan pelaku kekerasan) sangat membantu proses penyesuaian dan pemulihan
pada diri anak pasca peristiwa kekerasan seksual tersebut. Pasca peristiwa
kekerasan seksual yang sudah terjadi, orang tua membutuhkan kesempatan untuk
mengatasi perasaannya tentang apa yang terjadi dan menyesuaikan diri terhadap
perubahan besar yang terjadi. Selain itu juga, orang tua membutuhkan kembali
kepercayaan diri dan perasaaan untuk dapat mengendalikan situasi yang ada.
Proses pemulihan orang tua berkaitan erat dengan resiliensi yang dimiliki oleh
orang tua sebagai individu dan juga resiliensi keluarga tersebut.
Berkaitan dengan kasus kekerasan seksual maka Waskito (2008)
menemukan beberapa faktor yang mempengaruhi resiliensi keluarga terhadap
pengalaman kekerasan seksual yang menimpa anaknya, yang mana beberapa poinnya
saya ambil sebagai referensi rancangan penanganan yang saya buat. Diantaranya:
1. Dukungan sosial dan emosional yang membuat setiap anggota
keluarga merasa disayangi, dicintai, didukung, dihargai, dipercaya dan menjadi
bagian dari keluarga.
2. Kelekatan / ikatan emosional yang dimiliki satu sama lain dalam
keluarga dikarenakan adanya keterbukaan dimana setiap anggota keluarga saling
berbagi perasaan, jujur dan terbuka satu sama lain.
3. Meningkatkan komunikasi dengan anak. Pola komunikasi yang
efektif, terbuka, langsung, terarah, kongruen (sesuai antara verbal dan non
verbal). Dengan cara ini akan terbentuk sikap keterbukaan, kepercayaan dan rasa
aman pada anak. Diharapkan anak tidak perlu takut menceritakan berbagai
tindakan ganjil yang dialaminya, seperti mendapat iming-iming, diajak pergi
bersama, diancam, bahkan diperdaya oleh seseorang.
4. Keterlibatan orang tua terhadap proses penanganan kekerasan
seksual yang dialami anaknya baik itu penanganan secara hukum maupun penanganan
pemulihan secara psikologis layanan psikologis bagi anak maupun bagi orang tua.
5. Pemahaman orang tua terhadap peristiwa kekerasan seksual yang
dialami oleh anaknya. Dampak peristiwa tersebut bagi anaknya dan juga dirinya
serta bagaimana mengatasi dan memulihkan diri.
6. Spiritualitas dan nilai-nilai yang dimiliki dan dianut dengan
baik oleh sebuah keluarga. Keyakinan spiritual ini juga mencakup ritual-ritual
agama yang dianggap menguatkan.
7. Sikap positif yang dimiliki keluarga dalam memandang kehidupan
termasuk krisis dan permasalahan yang ada. Cara pandang yang melihat bahwa
selalu ada jalan keluar dari kesulitan yang dihadapi oleh setiap manusia.
8. Ketrampilan pemecahan masalah dan pengambilan keputusan yang
dimiliki keluarga yang terkait dengan perencanaan terhadap masa depan yang
dimiliki oleh keluarga dan ”kendali” terhadap permasalahan yang terjadi melalui
pelibatan orang tua dalam memutuskan langkah-langkah penanganan secara mandiri.
Bab 3
Rancangan Penanganan
Rancangan yang
saya buat untuk individu dan keluarganya adalah dengan mengadakan Workshop yang
saya beri tema “I am Precious & My Family Loves Me!”. Sasaran saya adalah
kedua orang tua dan anak perempuan maupun laki-laki yang berumur 13 tahun
sampai 17 tahun. Workshop yang saya adakan ini akan dibagi menjadi 4 sesi yang
diadakan dalam sehari. Setiap sesi berdurasi 1,5 jam - 2 jam. Workshop diawali
dengan doa kemudian pembukaan dan pidato latar belakang diadakannya workshop,
kemudian ice breaking perkenalan oleh fasilitator untuk memecahkan kekakuan
antar keluarga. Ice breaking yang saya gunakan adalah Kandang Sapi Bubrah.
Dimana para orang tua akan berpura-pura menjadi kandangnya, dan anak-anak akan
berpura-pura menjadi sapinya.
Apabila fasilitator menyebutkan “sapi bubrah” maka anak-anak yang
menjadi sapi akan mencari kandang lain. Jika fasilitator menyebutkan “kandang
bubrah” maka orang tua yang menjadi kandang akan mencari sapi lain. Apabila
fasilitator menyebutkan “kandang sapi bubrah” maka baik orang tua maupun anak
akan berpencar mencari pasangan kandang sapi yang baru. Perkenalan akan terjadi
disaat bubrah berlangsung dan mencari pasangan baru, saat sudah mendapat yang
baru, maka mereka harus saling berkenalan menanyakan nama, alamat, dan warna
kesukaan dengan satu kelompoknya. Kemudian fasilitator akan berkeliling untuk
mengecek apakah mereka sudah benar-benar berkenalan, apabila ada yang tidak
dapat menjawab pertanyaan fasilitator maka mereka harus memperkenalkan diri
mereka di depan semua orang yang hadir.
Setelah ice breaking perkenalan dimulailah sesi pertama dimana
orang tua dan anak akan ditempatkan di ruangan terpisah. Untuk sesi pertama
pada anak, anak diberikan pendidikan seksual dini. Pendidikan seksual dini
berisikan materi mengenai alat reproduksi manusia baik yang terlihat maupun
organ dalam, yang bertujuan agar anak paham dan tidak merasa jijik atau tabu
dengan anggota tubuh mereka dan orang lain seperti payudara, penis, vagina,
pantat dan lain-lain. Kemudian dilanjutkan dengan memberi pemahaman bahwa diri
mereka sangat berharga. Bagaimana caranya untuk menjaga tubuh mereka yang
berharga? Anak-anak diajarkan untuk mencintai tubuhnya dan menghormati tubuh
orang lain dengan mengajak mereka untuk mengetahui bagian tubuh mana yang boleh
dipegang dan bagian tubuh mana yang tidak boleh dipegang oleh orang lain (dalam
konteks ini orang lain adalah lawan jenis, orang asing, maupun kerabat dekat
bahkan orangtua).
Sesi diakhiri dengan mengajarkan anak-anak cara untuk bertindak
berani dan mampu melindungi diri di situasi yang mendesak (saat tidak bersama
orang tua). Cara yang saya ajarkan adalah tahapan yang dilakukan anak dalam
menghadapi situasi mendesak. Tahapannya adalah yang pertama berteriak, dimana
berteriak ini saya ajarkan dengan games stimulus-respon. Dimana teman disebelah
kanan maupun kiri akan dianggap sebagai orang asing dan diri sendiri berada di
situasi mendesak. Apabila fasilitator meneriakkan stimulus, maka teman
disebelah kanan secara tiba-tiba menyentuh pundak atau tangan, maka kita akan
berteriak sekencang-kencangnya. Tangan diandaikan sebagai bagian tubuh yang
tidak boleh dipegang dan pundak diandaikan sebagai bagian tubuh yang boleh dipegang.
Maka setiap anak yang disentuh tangannya harus berteriak, dan yang disentuh
pundaknya tidak perlu berteriak.
Setelah anak berteriak, tahapan yang kedua adalah berlari
sekencang-kencangnya mencari tempat yang ramai. Disini saya mengajak setiap anak
untuk rajin berolahraga supaya mendapatkan tubuh yang prima sehingga dapat
berlari dengan kencang. Tahap selanjutnya adalah meminta tolong pada orang yang
berkewajiban seperti satpam atau polisi, jika tidak ada maka dapat meminta
tolong pada warga sekitar. Tahap yang terakhir adalah dengan menghafal nomor
telepon orang terdekat dan menghubunginya untuk dapat menjemput. Untuk mencegah
kemungkinan yang buruk seperti tidak dapat berteriak atau berlari karena di
bekap, anak disarankan selalu mengantongi semprotan merica yang dapat
disemprotkan ke mata orang yang mengganggu (semprotan merica tersebut tidak
boleh dipergunakan untuk menyerang orang lain kecuali benar-benar berada di
situasi mendesak).
Untuk sesi pertama pada orang tua, orangtua diberikan pemahaman
serta penjelasan dengan memaparkan fakta yang ada. Disini orang tua diajak
untuk melihat dan menelaah lebih dalam lagi kasus kekerasan seksual yang marak
terjadi, mencari dan memahami apa penyebab pelaku dapat melakukan kekerasan
seksual dan korban yang tidak dapat melakukan apapun untuk mencegah dirinya
menjadi korban. Kemudian dari fakta mengenai kekerasan seksual dan pendapat
orang tua mengenai penyebab ini akan ditarik kesimpulan mengapa peran orangtua
sangat diperlukan dalam mendampingi anak usia remaja atau pertumbuhan.
Seperti dijelaskan dilandasan teori, menurut Waskito (2008), orang
tua akan diajak untuk memberikan dukungan sosial dan emosional yang membuat
setiap anggota keluarga khususnya anak merasa disayangi, dicintai, didukung,
dihargai, dipercaya dan menjadi bagian dari keluarga. Kemudian orang tua juga
diberi pemahaman bahwa kelekatan / ikatan emosional yang dimiliki satu sama
lain dalam keluarga akan didapat dengan adanya keterbukaan dimana setiap
anggota keluarga saling berbagi perasaan, jujur dan terbuka satu sama lain. Kemudian
orangtua akan diajak untuk meningkatkan komunikasi dengan anak. Dengan cara ini
akan terbentuk sikap keterbukaan, kepercayaan dan rasa aman pada anak.
Diharapkan anak tidak perlu takut menceritakan berbagai tindakan ganjil yang
dialaminya, seperti mendapat iming-iming, diajak pergi bersama, diancam, bahkan
diperdaya oleh seseorang.
Orangtua
juga dapat menanamkan spiritualitas dan nilai-nilai yang dimiliki dan dianut
pada anak. Keyakinan spiritual ini juga mencakup ritual-ritual agama yang
dianggap menguatkan. Kemudian sesi akan diakhiri dengan mengajak orangtua untuk
membandingkan atau meramalkan, bagaimana jadinya masa depan anak yang
didampingi, dimengerti dan diperhatikan oleh orangtuanya dengan masa depan anak
yang dibiarkan, dituntut, dan tidak diperhatikan oleh orangtuanya.
Sesi pertama baik
untuk anak dan orangtua sudah berakhir. Sebagai pengisi jeda menuju sesi
berikutnya diadakan games untuk mempererat hubungan anak dan orangtua. Games
dilakukan diluar ruangan.
Sesi kedua juga berada di ruangan
terpisah antara anak dengan orangtua. Sesi kedua pada anak maupun orangtua
adalah sesi Percaya dan Mencintai. Untuk anak akan diberikan pemahaman mengenai
bagaimana dan mengapa mereka harus mempercayai dan mencintai orangtua mereka.
Untuk orangtua akan diberikan pemahaman mengenai bagaimana untuk dapat dekat
dengan anak, mempercayai keputusan anak dan mencintai anak. Pemahaman tersebut
diawali dengan cara, baik orang tua maupun anak diminta untuk memaafkan,
mencintai dan menerima diri mereka sendiri. (termasuk orangtua si anak juga
harus memaafkan orangtuanya). Baru kemudian orangtua diajak untuk memaafkan,
mencintai dan menerima anaknya. Demikian
juga anak, diajak untuk memaafkan, mencintai dan menerima orangtuanya.
Untuk menuju ke sesi yang ketiga,
diadakan kembali games untuk mempererat hubungan keluarga.
Sesi ketiga atau sesi terakhir ini
merupakan sesi konseling keluarga. Dimana baik anak maupun orangtua berada
dalam satu ruangan dan berkumpul menjadi satu. Setiap keluarga akan ada satu
konselor untuk mengarahkan. Disini orangtua dan anak mendapatkan kesempatan
untuk saling bertukar pikiran dan mencurahkan isi hatinya. Baik dari anak ke
orangtua, orangtua ke anak, suami ke istri, dan sebaliknya. Dilakukan
brainstorming di setiap keluarga dan pemulihan hubungan serta menetapkan
kesepakatan tentang apa yang akan dilakukan dan apa yang akan diperbaharui
dalam hubungan setiap keluarga. Di kesempatan ini orangtua akan mendengarkan
apa kemauan anak terhadap mereka, dan anak juga mendengarkan apa kemauan
orangtua terhadap anak. Kemudian sesi diakhiri dengan penulisan kesepakatan
yang disetujui serta ditandatangani oleh setiap anggota keluarga. Penulisan
dapat berisikan mengenai tujuan atau target yang masing-masing keluarga
tetapkan dalam jangka waktu panjang maupun pendek, aktifitas yang akan
dilakukan masing-masing keluarga, serta peraturan keluarga yang disetujui dan
lain sebagainya.
Workshop “I am precious & My
Family Loves Me!” diakhiri dengan menorehkan cap telapak tangan menggunakan cat
berwarna merah pada kain putih panjang sebagai tanda bahwa setiap keluarga yang
mengikuti workshop ini mendukung kesejahteraan anak-anak dan perempuan dari
kekerasan seksual atau mendukung #STOPKEKERASANSEKSUAL dan menuliskan doa bagi
bangsa Indonesia. Cat berwarna merah mewakili setiap darah yang tertumpahkan
oleh korban kekerasan seksual sedangkan kain berwarna putih mewakili bangsa
Indonesia dalam menjaga kesuciannya.
Lampiran berita kasus kekerasan seksual
Karyawati Diperkosa, Dibunuh, Ditusuk Cangkul: Ada yang Aneh
TEMPO.CO, Tangerang -
Polisi telah menangkap tiga tersangka kasus pembunuhan Eno Parihah, 29 tahun,
karyawati PT Polita Global Mandiri, pabrik plastik yang berada di Kosambi,
Kabupaten Tangerang. Mereka adalah Imam Pariadi (24), Rakhmat (20), dan pelajar
SMP berinisial RA (15).
Tiga tersangka itu dianggap berkomplot untuk memperkosa dan menganiaya Eno
secara sadis. Untuk memastikan peranan masing-masing tersangka, polisi telah
menggelar prarekonstruksi di lokasi kejadian, yaitu mes Polita, Ahad malam
lalu. Berdasarkan prarekonstruksi tersebut, terlihat sejumlah kejanggalan yang
masih menyelimuti kematian gadis asal Serang, Banten, itu.
Kejanggalan pertama adalah keterangan RA yang mengaku sudah sebulan menjadi
pacar Eno. Teman-teman Eno menyangsikan keterangan itu, sebab usia RA
jauh lebih muda dari korban. Apalagi, selama ini, Eno dikenal bersikap
dingin kepada laki-laki. "Korban dikenal tertutup dan pendiam. Teman
kerja dan keluarganya tidak tahu jika korban punya pacar, "ujar Kapolsek
Teluk Naga Ajun Komisaris Supriyanto.
Sempat muncul anggapan jika RA menjadi otak kejahatan itu. Alasannya, dialah
orang yang mengenal dan memiliki masalah dengan korban. Karena itu, dia
memiliki motif kuat menyakiti Eno. Namun anggapan ini terasa janggal. Sebab,
dari proses rekonstruksi, RA justru lebih banyak menjalankan perintah dari Imam
dan Dayat.
Kejanggalan berikutnya juga terlihat
dalam hubungan antara RA, Imam, dan Dayat. RA tidak kenal dengan dua pemuda itu
sebelumnya. Namun mereka bisa berkomplot untuk menyakiti korban.
Kepada polisi, RA mengaku kesal saat meninggalkan mes Eno pada Kamis malam, 12 Mei lalu. Dia bertemu dengan Imam dan Dayat di dekat mes. Dua pemuda itu bertanya ihwal hubungan RA dengan Eno. RA saat ini menjawab tidak memiliki hubungan apa-apa. Namun dia justru mau ketika diajak kembali mendatangi korban. RA bahkan terlibat secara langsung memperkosa dan menganiaya Eno.
Kejanggalan lain adalah tindakan tersangka yang secara sadis menganiaya korban menggunakan gagang cangkul. Tindakan itu seakan-akan menunjukkan bahwa tersangka memiliki dendam terhadap korban.
Namun polisi belum bisa menyimpulkan apakah tersangka memang menyimpan dendam. “Kami masih perlu mendalami untuk memastikan motif di balik pembunuhan sadis ini,” kata Kepala Satuan Reserse dan Kriminal Polres Metro Tangerang Ajun Komisaris Besar Sutarmo.
JONIANSYAH HARDJONO
Kepada polisi, RA mengaku kesal saat meninggalkan mes Eno pada Kamis malam, 12 Mei lalu. Dia bertemu dengan Imam dan Dayat di dekat mes. Dua pemuda itu bertanya ihwal hubungan RA dengan Eno. RA saat ini menjawab tidak memiliki hubungan apa-apa. Namun dia justru mau ketika diajak kembali mendatangi korban. RA bahkan terlibat secara langsung memperkosa dan menganiaya Eno.
Kejanggalan lain adalah tindakan tersangka yang secara sadis menganiaya korban menggunakan gagang cangkul. Tindakan itu seakan-akan menunjukkan bahwa tersangka memiliki dendam terhadap korban.
Namun polisi belum bisa menyimpulkan apakah tersangka memang menyimpan dendam. “Kami masih perlu mendalami untuk memastikan motif di balik pembunuhan sadis ini,” kata Kepala Satuan Reserse dan Kriminal Polres Metro Tangerang Ajun Komisaris Besar Sutarmo.
JONIANSYAH HARDJONO
DAFTAR PUSTAKA
ejournal.kemsos.go.id/index.php/Sosioinforma/article/download/87/55
Comments
Post a Comment