Intervensi Trauma (Kekerasan Seksual yang Terjadi di Indonesia)


                                                                 Bab 1
Ulasan Kasus

          Ada ungkapan yang mengatakan Indonesia Darurat Kekerasan terhadap Perempuan, dan saya setuju hal itu. Sepanjang tahun 2016 ini, kita digegerkan dengan berbagai pemberitaan terkait kekerasan seksual pada perempuan dan anak-anak yang terjadi di Indonesia. Bahkan kekerasan seksual yang identik dengan pemerkosaan tersebut tidak hanya dilakukan dengan pemaksaan berhubungan seksual, namun juga dengan membunuh secara kejam pada korbannya. 

Memang sejak dulu sudah ada kasus kekerasan seksual yang terjadi, seperti antara anak dengan orangtua, dengan kakeknya, dengan orang tak dikenal, namun tidak pernah sampai berurutan dan parah seperti yang terjadi di tahun ini. Parah yang saya maksudkan adalah naiknya jumlah korban pra remaja mulai dari usia taman kanak-kanak hingga usia belasan awal, sedangkan pelakunya masih usia remaja, bahkan dibawah umur. Selain itu korban tidak hanya perempuan berusia remaja atau dewasa awal, bahkan anak kecil dan laki-laki pun ikut dijadikan korban kekerasan seksual yang dilakukan baik oleh lawan jenis maupun sesama jenis.

Bertambah tahun tidak membuat kasus kekerasan seksual semakin mereda, namun semakin merajalela. Berbagai saran maupun upaya yang dilakukan pemerintah, namun belum juga ada tindakan yang mampu mencegah kekerasan seksual. Belum ada juga upaya yang dilakukan pemerintah untuk menangani korban kekerasan seksual. Banyak artikel yang bermunculan mengenai mengapa dan bagaimana terjadinya kekerasan seksual, namun minim artikel yang berisikan bagaimana cara untuk memulihkan kondisi korban kekerasan seksual. Bukan berarti saya menganggap semua pihak menutup mata dan tidak melakukan apapun, namun jika kasus kekerasan seksual masih saja terjadi itu berarti para pelaku tidak takut terhadap norma maupun hukuman yang ditimpakan apabila mereka melakukan kekerasan seksual. 

Komnas perempuan mencatat kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia per Januari 2016 naik menjadi peringkat kedua dengan jumlah kasus pemerkosaan mencapai 2.399 kasus atau 72 persen, pencabulan mencapai 601 kasus atau 18 persen, sementara kasus pelecehan seksual mencapai 166 kasus atau 5 persen. Perhitungan ini belum termasuk kekerasan seksual yang tidak terdeteksi oleh masyarakat atau tidak dilaporkan karena alasan faktor budaya. Jumlah faktual di masyarakat diyakini jauh lebih tinggi, karena perempuan masih enggan melaporkan kasus perkosaan atau pelecehan seksual yang dialaminya. Alasan utamanya adalah karena dalam proses hukum, perempuan akan kembali menjadi korban untuk kedua kalinya. 

Kasus-kasus kekerasan ini cenderung disimpan atau ditutup oleh korbannya karena dianggap sebagai aib. Selain terkait persoalan tabu, juga ini adalah persoalan dukungan sosial yang tidak tersedia bagi korban di masyarakat, karena budaya perkosaan atau rape culture yang kuat di dalam masyarakat kita, yakni menyalahkan korban, karena dianggap perempuanlah penyebab terjadinya pelecehan atau pemerkosaan. Tidak hanya penanganan kasus hukum kepada pelakunya, yang lebih penting lagi adakah pendampingan dan perlindungan bagi korban kekerasan seksual. 

Beberapa kasus kekerasan seksual yang membuat heboh masyarakat Indonesia antara lain, kasus pemerkosaan bekelompok dan pembunuhan yang dilakukan oleh 14 orang atas siswa SMP di Bengkulu, di kebun karet (kasus YY), kasus pencabulan oleh lima laki-laki yang dua diantaranya merupakan guru olahraga dan tiga lainnya masih remaja terhadap dua anak perempuan dibawah umur di Sleman, DIY. Mencuat juga kasus yang serupa dengan pemerkosaan terhadap korban YY di Manado, ada juga kasus empat bocah SD di Tangerang Selatan menjadi korban Asusila siswa SMP, guru mengaji di Jakarta Pusat yang mencabuli bocah SMP murid pengajiannya, ayah di Depok yang tega menyetubuhi anak kandungnya selama sembilan tahun hingga hamil dua bulan, dan masih banyak lagi. 

Pada kesempatan ini saya mengangkat kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh tiga orang terhadap Eno Parihah yang merupakan karyawati pabrik yang tewas  dengan kondisi gagang cangkul di kemaluannya. Eno Parihah (18) ditemukan tewas pada Jumat pagi 13 Mei 2016 di mess pabrik di daerah Jatimulya, kabupaten Tangerang. Polisi menetapkan tiga tersangkat yang salah satunya adalah seorang pelajar SMP. Ketiga tersangka masing-masing berumur RAL (15), RA (23) (teman kerja Eno) dan IP (23) tahun. Pembunuhan sadis yang menimpa Eno Parihah ini berawal dari kedatangan RAL yang main ke mess korban pada kamis malam. RAL masuk ke dalam kamar mess Eno dan Eno menolak untuk diajak berhubungan intim oleh RAL. Karena ditolak, pelajar SMP ini marah dan keluar kamar. 

Diluar kamar RAL bertemu dengan RA dan IH yang juga marah dengan Eno karena ditolak. Meski sebelumnya RAL dan kedua pria tersebut tidak saling kenal, karena mereka memiliki rasa kecewa yang sama, ketiganya langsung masuk kamar dan memperkosa Eno secara bergantian. Setelah puas memperkosa, salah satu tersangka mengambil cangkul yang ada di dekat kamar Eno dan memasukkan gagang cangkul tersebut ke kemaluan Eno yang kemudian di tendang bagian ujung cangkulnya hingga masuk ke dalam kemaluan Eno. Foto hasil scan tubuh Eno menunjukkan gagang pacul tersebut merusak organ tubuh bagian dalam, tembus ke paru-paru dan dada. Hal tersebut terungkap dalam rekonstruksi yang dilakukan petugas gabungan pada Minggu malam, 15 Mei 2016.

Melihat kasus yang menimpa Eno Parihah ini, saya membuat rancangan penanganan khususnya bagi kaum perempuan. Rancangan penanganan yang saya buat ini bertujuan untuk membantu kaum perempuan dalam mencegah dirinya sendiri menjadi korban kekerasan seksual.


      Bab 2
       Landasan Teori

Menurut Ricard J. Gelles (Hurairah, 2012), kekerasan terhadap anak merupakan perbuatan disengaja yang menimbulkan kerugian atau bahaya terhadap anak-anak (baik secara fisik maupun emosional). Bentuk kekerasan terhadap anak dapat diklasifikasikan menjadi kekerasan secara fisik, kekerasan secara psikologi, kekerasan secara seksual dan kekerasan secara sosial. 

Kekerasan seksual terhadap anak menurut End Child Prostitution in Asia Tourism (ECPAT) Internasional merupakan hubungan atau interaksi antara seorang anak dengan seorang yang lebih tua atau orang dewasa seperti orang asing, saudara sekandung atau orang tua dimana anak dipergunakan sebagai objek pemuas kebutuhan seksual pelaku. Perbuatan ini dilakukan dengan menggunakan paksaan, ancaman, suap, tipuan bahkan tekanan. Kegiatan-kegiatan kekerasan seksual terhadap anak tersebut tidak harus melibatkan kontak badan antara pelaku dengan anak sebagai korban. Bentuk-bentuk kekerasan seksual itu sendiri bisa dalam tindakan perkosaan ataupun pencabulan (Sari, 2009).

Menurut Lyness (Maslihah, 2006) kekerasan seksual terhadap anak meliputi tindakan menyentuh atau mencium organ seksual anak, tindakan seksual atau pemerkosaan terhadap anak, memperlihatkan media/benda porno, menunjukkan alat kelamin pada anak dan sebagainya. Kekerasan seksual (sexual abuse) merupakan jenis penganiayaan yang biasanya dibagi dua dalam kategori berdasar identitas pelaku, yaitu: 

a. Familial Abuse
Termasuk familial abuse adalah incest, yaitu kekerasan seksual dimana antara korban dan pelaku masih dalam hubungan darah, menjadi bagian dalam keluarga inti. Dalam hal ini termasuk seseorang yang menjadi pengganti orang tua, misalnya ayah tiri, atau kekasih, pengasuh atau orang yang dipercaya merawat anak. Mayer (Tower, 2002) menyebutkan kategoriincest dalam keluarga dan mengaitkan dengan kekerasan pada anak, yaitu kategori pertama, penganiayaan (sexual molestation), hal ini meliputi interaksi noncoitus, petting, fondling, exhibitionism, dan voyeurism, semua hal yang berkaitan untuk menstimulasi pelaku secara seksual. Kategori kedua, perkosaan (sexual assault), berupa oral atau hubungan dengan alat kelamin, masturbasi, stimulasi oral pada penis (fellatio), dan stimulasi oral pada klitoris (cunnilingus). Kategori terakhir yang paling fatal disebut perkosaan secara paksa (forcible rape), meliputi kontak seksual. Rasa takut, kekerasan, dan ancaman menjadi sulit bagi korban. Mayer mengatakan bahwa paling banyak ada dua kategori terakhir yang menimbulkan trauma terberat bagi anak-anak, namun korban-korban sebelumnya tidak mengatakan demikian.

b. Extra Familial Abuse
Kekerasan seksual adalah kekerasan yang dilakukan oleh orang lain di luar keluarga korban. Pada pola pelecehan seksual di luar keluarga, pelaku biasanya orang dewasa yang dikenal oleh sang anak dan telah membangun relasi dengan anak tersebut, kemudian membujuk sang anak ke dalam situasi dimana pelecehan seksual tersebut dilakukan, sering dengan memberikan imbalan tertentu yang tidak didapatkan oleh sang anak di rumahnya. Sang anak biasanya tetap diam karena bila hal tersebut diketahui mereka takut akan memicu kemarah dari orangtua mereka. Selain itu, beberapa orangtua kadang kurang peduli tentang di mana dan dengan siapa anak-anak mereka menghabiskan waktunya. Anak-anak yang sering bolos sekolah cenderung rentan untuk mengalami kejadian ini dan harus diwaspadai.

Kekerasan seksual yang dilakukan di bawah kekerasan dan diikuti ancaman, sehingga korban tak berdaya itu disebut molester. Kondisi itu menyebabkan korban terdominasi dan mengalami kesulitan untuk mengungkapnya. Namun, tak sedikit pula pelaku kekerasan seksual pada anak ini melakukan aksinya tanpa kekerasan, tetapi dengan menggunakan manipulasi psikologi. Anak ditipu, sehingga mengikuti keinginannya. Anak sebagai individu yang belum mencapai taraf kedewasaan, belum mampu menilai sesuatu sebagai tipu daya atau bukan.
Kekerasan seksual terhadap anak dapat dilihat dari sudut pandang biologis dan sosial, yang kesemuanya berkaitan dengan dampak psikologis pada anak. Secara biologis, sebelum pubertas, organ-organ vital anak tidak disiapkan untuk melakukan hubungan intim, apalagi untuk organ yang memang tidak ditujukan untuk hubungan intim. Jika dipaksakan, maka tindakan tersebut akan merusak jaringan. Ketika terjadi kerusakan secara fisik, maka telah terjadi tindak kekerasan. Sedangkan dari sudut pandang sosial, karena dorongan seksual dilampiaskan secara sembunyi-sembunyi, tentu saja pelaku tidak ingin diketahui oleh orang lain. Pelaku akan berusaha membuat anak yang menjadi sasaran ‘tutup mulut’.
Didalam melakukan kekerasan seksual terhadap anak, biasanya ada tahapan yang dilakukan oleh pelaku. Dalam hal ini, kemungkinan pelaku mencoba perilaku untuk mengukur kenyamanan korban. Jika korban menuruti, kekerasan akan berlanjut dan intensif, berupa (Sgroi dalam Tower, 2002): 1) Nudity (dilakukan oleh orang dewasa); 2) Disrobing (orang dewasa membuka pakaian di depan anak); 3) Genital exposure (dilakukan oleh orang dewasa); 4) Observation of the child (saat mandi, telanjang, dan saat membuang air); 5) Mencium anak yang memakai pakaian dalam; 6) Fondling (meraba-raba dada korban, alat genital, paha, dan bokong); 7) Masturbasi; 8) Fellatio (stimulasi pada penis, korban atau pelaku sendiri); 9) Cunnilingus (stimulasi pada vulva atau area vagina, pada korban atau pelaku); 10) Digital penetration (pada anus atau rectum); 11) Penile penetration (pada vagina); 12) Digital penetration (pada vagina); 13). Penile penetration (pada anus atau rectum); 14) Dry intercourse (mengelus-elus penis pelaku atau area genital lainnya, paha, atau bokong korban).
Dampak Kekerasan Seksual Terhadap Anak
Tindakan kekerasan seksual pada anak membawa dampak emosional dan fisik kepada korbannya. Secara emosional, anak sebagai korban kekerasan seksual mengalami stress, depresi, goncangan jiwa, adanya perasaan bersalah dan menyalahkan diri sendiri, rasa takut berhubungan dengan orang lain, bayangan kejadian dimana anak menerima kekerasan seksual, mimpi buruk, insomnia, ketakutan dengan hal yang berhubungan dengan penyalahgunaan termasuk benda, bau, tempat, kunjungan dokter, masalah harga diri, disfungsi seksual, sakit kronis, kecanduan, keinginan bunuh diri, keluhan somatik, dan kehamilan yang tidak diinginkan.
Selain itu muncul gangguan-gangguan psikologis seperti pasca-trauma stress disorder, kecemasan, penyakit jiwa lain termasuk gangguan kepribadian dan gangguan identitas disosiatif, kecenderungan untuk reviktimisasi di masa dewasa, bulimia nervosa, bahkan adanya cedera fisik kepada anak (Levitan et al, 2003; Messman-Moore, Terri Patricia, 2000; Dinwiddie et al, 2000). Secara fisik, korban mengalami penurunan nafsu makan, sulit tidur, sakit kepala, tidak nyaman di sekitar vagina atau alat kelamin, berisiko tertular penyakit menular seksual, luka di tubuh akibat perkosaan dengan kekerasan, kehamilan yang tidak diinginkan dan lainnya. Sedangkan kekerasan seksual yang dilakukan oleh anggota keluarga adalah bentuk inses, dan dapat menghasilkan dampak yang lebih serius dan trauma psikologis jangka panjang, terutama dalam kasus inses orangtua.
Finkelhor dan Browne (Tower, 2002) mengkategorikan empat jenis dampak trauma akibat kekerasan seksual yang dialami oleh anak-anak, yaitu:
1. Pengkhianatan (Betrayal). Kepercayaan merupakan dasar utama bagi korban kekerasan seksual. Sebagai seorang anak, mempunyai kepercayaan kepada orangtua dan kepercayaan itu dimengerti dan dipahami. Namun, kepercayaan anak dan otoritas orangtua menjadi hal yang mengancam anak. 20
2. Trauma secara Seksual (Traumatic sexualization). Russel (Tower, 2002) menemukan bahwa perempuan yang mengalami kekerasan seksual cenderung menolak hubungan seksual, dan sebagai konsekuensinya menjadi korban kekerasan seksual dalam rumah tangga. Finkelhor (Tower, 2002) mencatat bahwa korban lebih memilih pasangan sesama jenis karena menganggap laki-laki tidak dapat dipercaya.
3. Merasa Tidak Berdaya (Powerlessness). Rasa takut menembus kehidupan korban. Mimpi buruk, fobia, dan kecemasan dialami oleh korban disertai dengan rasa sakit. Perasaan tidak berdaya mengakibatkan individu merasa lemah. Korban merasa dirinya tidak mampu dan kurang efektif dalam bekerja. Beberapa korban juga merasa sakit pada tubuhnya. Sebaliknya, pada korban lain memiliki intensitas dan dorongan yang berlebihan dalam dirinya (Finkelhor dan Browne, Briere dalam Tower, 2002).
4. Stigmatization. Korban kekerasan seksual merasa bersalah, malu, memiliki gambaran diri yang buruk. Rasa bersalah dan malu terbentuk akibat ketidakberdayaan dan merasa bahwa mereka tidak memiliki kekuatan untuk mengontrol dirinya. Anak sebagai korban sering merasa berbeda dengan orang lain, dan beberapa korban marah pada tubuhnya akibat penganiayaan yang dialami. Korban lainnya menggunakan obat-obatan dan minuman alkohol untuk menghukum tubuhnya, menumpulkan inderanya, atau berusaha menghindari memori kejadian tersebut (Gelinas, Kinzl dan Biebl dalam Tower, 2002).
Secara fisik memang mungkin tidak ada hal yang harus dipermasalahkan pada anak yang menjadi korban kekerasan seksual, tapi secara psikis bisa menimbulkan ketagihan, trauma, pelampiasan dendam dan lain-lain. Apa yang menimpa mereka akan mempengaruhi kematangan dan kemandirian hidup anak di masa depan, caranya melihat dunia serta masa depannya secara umum.
Penanganan Kekerasan Seksual Terhadap Anak
Masa kanak-kanak adalah dimana anak sedang dalam proses tumbuh kembangnya. Oleh karena itu, anak wajib dilindungi dari segala kemungkinan kekerasan terhadap anak, terutama kekerasan seksual. Setiap anak berhak mendapatkan perlindungan. Upaya perlindungan terhadap anak harus diberikan secara utuh, menyeluruh dan komprehensif, tidak memihak kepada suatu golongan atau kelompok anak. Upaya yang diberikan tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi anak dengan mengingat haknya untuk hidup dan berkembang, serta tetap menghargai pendapatnya. Upaya perlindungan terhadap anak berarti terwujudnya keadilan dalam suatu masyarakat. Asumsi ini diperkuat dengan pendapat Age yang dikutip oleh Gosita (1996), yang telah mengemukakan dengan tepat bahwa “melindungi anak pada hakekatnya melindungi keluarga, masyarakat, bangsa dan negara di masa depan”.
Ungkapan tersebut nampak betapa pentingnya upaya perlindungan anak demi kelangsungan masa depan sebuah komunitas, baik komunitas yang terkecil yaitu keluarga, maupun komunitas yang terbesar yaitu negara. Artinya, dengan mengupayakan perlindungan bagi anak di komunitas-komunitas tersebut tidak hanya telah menegakkan hak-hak anak, tapi juga sekaligus menanam investasi untuk kehidupan mereka di masa yang akan datang. Di sini, dapat dikatakan telah terjadi simbiosis mutualisme antara keduanya.
Selain itu, dalam penanganan kasus kekerasan seksual terhadap anak seharusnya bersifat holistik dan terintegrasi. Semua sisi memerlukan pembenahan dan penanganan, baik dari sisi medis, sisi individu, aspek hukum (dalam hal ini masih banyak mengandung kelemahan), maupun dukungan sosial. Apabila kekerasan seksual terhadap anak tidak ditangani secara serius dapat menimbulkan dampak sosial yang luas di masyarakat. Penyembuhan trauma psikis akibat kekerasan seksual haruslah mendapat perhatian besar dari semua pihak yang terlibat.
Saya berfokus pada penanganan yang melibatkan individu dan keluarganya. Berikut landasan teorinya.
 Peran Individu dan Keluarga
Langkah paling sederhana untuk melindungi anak dari kekerasan seksual bisa dilakukan oleh individu dan keluarga. Orangtua memegang peranan penting dalam menjaga anak-anak dari ancaman kekerasan seksual. Orangtua harus benar-benar peka jika melihat sinyal yang tak biasa dari anaknya. Namun, tak semua korban kekerasan seksual bakal menunjukkan tanda-tanda yang mudah dikenali. Terutama apabila si pelaku melakukan pendekatan secara persuasif dan meyakinkan korban apa yang terjadi antara pelaku dan korban merupakan hal wajar. Kesulitan yang umumnya dihadapi oleh pihak keluarga maupun ahli saat membantu proses pemulihan anak-anak korban kekerasan seksual dibandingkan dengan korban yang lebih dewasa adalah kesulitan dalam mengenali perasaan dan pikiran korban saat peristiwa tersebut terjadi.
Anak-anak cenderung sulit mendeskripsikan secara verbal dengan jelas mengenai proses mental yang terjadi saat mereka mengalami peristiwa tersebut. Sedangkan untuk membicarakan hal tersebut berulang-ulang agar mendapatkan data yang lengkap, dikhawatirkan akan menambah dampak negatif pada anak karena anak akan memutar ulang peristiwa tersebut dalam benak mereka. Oleh karena itu, yang pertama harus dilakukan adalah memberikan rasa aman kepada anak untuk bercerita. Biasanya orang tua yang memang memiliki hubungan yang dekat dengan anak akan lebih mudah untuk melakukannya.
Menurut beberapa penelitian yang dilansir oleh Protective Service for Children and Young People Department of Health and Community Service (1993) keberadaan dan peranan keluarga sangat penting dalam membantu anak memulihkan diri pasca pengalaman kekerasan seksual mereka. Orang tua (bukan pelaku kekerasan) sangat membantu proses penyesuaian dan pemulihan pada diri anak pasca peristiwa kekerasan seksual tersebut. Pasca peristiwa kekerasan seksual yang sudah terjadi, orang tua membutuhkan kesempatan untuk mengatasi perasaannya tentang apa yang terjadi dan menyesuaikan diri terhadap perubahan besar yang terjadi. Selain itu juga, orang tua membutuhkan kembali kepercayaan diri dan perasaaan untuk dapat mengendalikan situasi yang ada. Proses pemulihan orang tua berkaitan erat dengan resiliensi yang dimiliki oleh orang tua sebagai individu dan juga resiliensi keluarga tersebut.
Berkaitan dengan kasus kekerasan seksual maka Waskito (2008) menemukan beberapa faktor yang mempengaruhi resiliensi keluarga terhadap pengalaman kekerasan seksual yang menimpa anaknya, yang mana beberapa poinnya saya ambil sebagai referensi rancangan penanganan yang saya buat. Diantaranya:
1. Dukungan sosial dan emosional yang membuat setiap anggota keluarga merasa disayangi, dicintai, didukung, dihargai, dipercaya dan menjadi bagian dari keluarga.
2. Kelekatan / ikatan emosional yang dimiliki satu sama lain dalam keluarga dikarenakan adanya keterbukaan dimana setiap anggota keluarga saling berbagi perasaan, jujur dan terbuka satu sama lain.
3. Meningkatkan komunikasi dengan anak. Pola komunikasi yang efektif, terbuka, langsung, terarah, kongruen (sesuai antara verbal dan non verbal). Dengan cara ini akan terbentuk sikap keterbukaan, kepercayaan dan rasa aman pada anak. Diharapkan anak tidak perlu takut menceritakan berbagai tindakan ganjil yang dialaminya, seperti mendapat iming-iming, diajak pergi bersama, diancam, bahkan diperdaya oleh seseorang.
4. Keterlibatan orang tua terhadap proses penanganan kekerasan seksual yang dialami anaknya baik itu penanganan secara hukum maupun penanganan pemulihan secara psikologis layanan psikologis bagi anak maupun bagi orang tua.
5. Pemahaman orang tua terhadap peristiwa kekerasan seksual yang dialami oleh anaknya. Dampak peristiwa tersebut bagi anaknya dan juga dirinya serta bagaimana mengatasi dan memulihkan diri.
6. Spiritualitas dan nilai-nilai yang dimiliki dan dianut dengan baik oleh sebuah keluarga. Keyakinan spiritual ini juga mencakup ritual-ritual agama yang dianggap menguatkan.
7. Sikap positif yang dimiliki keluarga dalam memandang kehidupan termasuk krisis dan permasalahan yang ada. Cara pandang yang melihat bahwa selalu ada jalan keluar dari kesulitan yang dihadapi oleh setiap manusia.
8. Ketrampilan pemecahan masalah dan pengambilan keputusan yang dimiliki keluarga yang terkait dengan perencanaan terhadap masa depan yang dimiliki oleh keluarga dan ”kendali” terhadap permasalahan yang terjadi melalui pelibatan orang tua dalam memutuskan langkah-langkah penanganan secara mandiri.

 Bab 3
Rancangan Penanganan

             Rancangan yang saya buat untuk individu dan keluarganya adalah dengan mengadakan Workshop yang saya beri tema “I am Precious & My Family Loves Me!”. Sasaran saya adalah kedua orang tua dan anak perempuan maupun laki-laki yang berumur 13 tahun sampai 17 tahun. Workshop yang saya adakan ini akan dibagi menjadi 4 sesi yang diadakan dalam sehari. Setiap sesi berdurasi 1,5 jam - 2 jam. Workshop diawali dengan doa kemudian pembukaan dan pidato latar belakang diadakannya workshop, kemudian ice breaking perkenalan oleh fasilitator untuk memecahkan kekakuan antar keluarga. Ice breaking yang saya gunakan adalah Kandang Sapi Bubrah. Dimana para orang tua akan berpura-pura menjadi kandangnya, dan anak-anak akan berpura-pura menjadi sapinya.

Apabila fasilitator menyebutkan “sapi bubrah” maka anak-anak yang menjadi sapi akan mencari kandang lain. Jika fasilitator menyebutkan “kandang bubrah” maka orang tua yang menjadi kandang akan mencari sapi lain. Apabila fasilitator menyebutkan “kandang sapi bubrah” maka baik orang tua maupun anak akan berpencar mencari pasangan kandang sapi yang baru. Perkenalan akan terjadi disaat bubrah berlangsung dan mencari pasangan baru, saat sudah mendapat yang baru, maka mereka harus saling berkenalan menanyakan nama, alamat, dan warna kesukaan dengan satu kelompoknya. Kemudian fasilitator akan berkeliling untuk mengecek apakah mereka sudah benar-benar berkenalan, apabila ada yang tidak dapat menjawab pertanyaan fasilitator maka mereka harus memperkenalkan diri mereka di depan semua orang yang hadir.

Setelah ice breaking perkenalan dimulailah sesi pertama dimana orang tua dan anak akan ditempatkan di ruangan terpisah. Untuk sesi pertama pada anak, anak diberikan pendidikan seksual dini. Pendidikan seksual dini berisikan materi mengenai alat reproduksi manusia baik yang terlihat maupun organ dalam, yang bertujuan agar anak paham dan tidak merasa jijik atau tabu dengan anggota tubuh mereka dan orang lain seperti payudara, penis, vagina, pantat dan lain-lain. Kemudian dilanjutkan dengan memberi pemahaman bahwa diri mereka sangat berharga. Bagaimana caranya untuk menjaga tubuh mereka yang berharga? Anak-anak diajarkan untuk mencintai tubuhnya dan menghormati tubuh orang lain dengan mengajak mereka untuk mengetahui bagian tubuh mana yang boleh dipegang dan bagian tubuh mana yang tidak boleh dipegang oleh orang lain (dalam konteks ini orang lain adalah lawan jenis, orang asing, maupun kerabat dekat bahkan orangtua). 

Sesi diakhiri dengan mengajarkan anak-anak cara untuk bertindak berani dan mampu melindungi diri di situasi yang mendesak (saat tidak bersama orang tua). Cara yang saya ajarkan adalah tahapan yang dilakukan anak dalam menghadapi situasi mendesak. Tahapannya adalah yang pertama berteriak, dimana berteriak ini saya ajarkan dengan games stimulus-respon. Dimana teman disebelah kanan maupun kiri akan dianggap sebagai orang asing dan diri sendiri berada di situasi mendesak. Apabila fasilitator meneriakkan stimulus, maka teman disebelah kanan secara tiba-tiba menyentuh pundak atau tangan, maka kita akan berteriak sekencang-kencangnya. Tangan diandaikan sebagai bagian tubuh yang tidak boleh dipegang dan pundak diandaikan sebagai bagian tubuh yang boleh dipegang. Maka setiap anak yang disentuh tangannya harus berteriak, dan yang disentuh pundaknya tidak perlu berteriak. 

Setelah anak berteriak, tahapan yang kedua adalah berlari sekencang-kencangnya mencari tempat yang ramai. Disini saya mengajak setiap anak untuk rajin berolahraga supaya mendapatkan tubuh yang prima sehingga dapat berlari dengan kencang. Tahap selanjutnya adalah meminta tolong pada orang yang berkewajiban seperti satpam atau polisi, jika tidak ada maka dapat meminta tolong pada warga sekitar. Tahap yang terakhir adalah dengan menghafal nomor telepon orang terdekat dan menghubunginya untuk dapat menjemput. Untuk mencegah kemungkinan yang buruk seperti tidak dapat berteriak atau berlari karena di bekap, anak disarankan selalu mengantongi semprotan merica yang dapat disemprotkan ke mata orang yang mengganggu (semprotan merica tersebut tidak boleh dipergunakan untuk menyerang orang lain kecuali benar-benar berada di situasi mendesak).

Untuk sesi pertama pada orang tua, orangtua diberikan pemahaman serta penjelasan dengan memaparkan fakta yang ada. Disini orang tua diajak untuk melihat dan menelaah lebih dalam lagi kasus kekerasan seksual yang marak terjadi, mencari dan memahami apa penyebab pelaku dapat melakukan kekerasan seksual dan korban yang tidak dapat melakukan apapun untuk mencegah dirinya menjadi korban. Kemudian dari fakta mengenai kekerasan seksual dan pendapat orang tua mengenai penyebab ini akan ditarik kesimpulan mengapa peran orangtua sangat diperlukan dalam mendampingi anak usia remaja atau pertumbuhan. 

Seperti dijelaskan dilandasan teori, menurut Waskito (2008), orang tua akan diajak untuk memberikan dukungan sosial dan emosional yang membuat setiap anggota keluarga khususnya anak merasa disayangi, dicintai, didukung, dihargai, dipercaya dan menjadi bagian dari keluarga. Kemudian orang tua juga diberi pemahaman bahwa kelekatan / ikatan emosional yang dimiliki satu sama lain dalam keluarga akan didapat dengan adanya keterbukaan dimana setiap anggota keluarga saling berbagi perasaan, jujur dan terbuka satu sama lain. Kemudian orangtua akan diajak untuk meningkatkan komunikasi dengan anak. Dengan cara ini akan terbentuk sikap keterbukaan, kepercayaan dan rasa aman pada anak. Diharapkan anak tidak perlu takut menceritakan berbagai tindakan ganjil yang dialaminya, seperti mendapat iming-iming, diajak pergi bersama, diancam, bahkan diperdaya oleh seseorang. 

          Orangtua juga dapat menanamkan spiritualitas dan nilai-nilai yang dimiliki dan dianut pada anak. Keyakinan spiritual ini juga mencakup ritual-ritual agama yang dianggap menguatkan. Kemudian sesi akan diakhiri dengan mengajak orangtua untuk membandingkan atau meramalkan, bagaimana jadinya masa depan anak yang didampingi, dimengerti dan diperhatikan oleh orangtuanya dengan masa depan anak yang dibiarkan, dituntut, dan tidak diperhatikan oleh orangtuanya.

            Sesi pertama baik untuk anak dan orangtua sudah berakhir. Sebagai pengisi jeda menuju sesi berikutnya diadakan games untuk mempererat hubungan anak dan orangtua. Games dilakukan diluar ruangan.
          Sesi kedua juga berada di ruangan terpisah antara anak dengan orangtua. Sesi kedua pada anak maupun orangtua adalah sesi Percaya dan Mencintai. Untuk anak akan diberikan pemahaman mengenai bagaimana dan mengapa mereka harus mempercayai dan mencintai orangtua mereka. Untuk orangtua akan diberikan pemahaman mengenai bagaimana untuk dapat dekat dengan anak, mempercayai keputusan anak dan mencintai anak. Pemahaman tersebut diawali dengan cara, baik orang tua maupun anak diminta untuk memaafkan, mencintai dan menerima diri mereka sendiri. (termasuk orangtua si anak juga harus memaafkan orangtuanya). Baru kemudian orangtua diajak untuk memaafkan, mencintai  dan menerima anaknya. Demikian juga anak, diajak untuk memaafkan, mencintai dan menerima orangtuanya.

          Untuk menuju ke sesi yang ketiga, diadakan kembali games untuk mempererat hubungan keluarga.
          Sesi ketiga atau sesi terakhir ini merupakan sesi konseling keluarga. Dimana baik anak maupun orangtua berada dalam satu ruangan dan berkumpul menjadi satu. Setiap keluarga akan ada satu konselor untuk mengarahkan. Disini orangtua dan anak mendapatkan kesempatan untuk saling bertukar pikiran dan mencurahkan isi hatinya. Baik dari anak ke orangtua, orangtua ke anak, suami ke istri, dan sebaliknya. Dilakukan brainstorming di setiap keluarga dan pemulihan hubungan serta menetapkan kesepakatan tentang apa yang akan dilakukan dan apa yang akan diperbaharui dalam hubungan setiap keluarga. Di kesempatan ini orangtua akan mendengarkan apa kemauan anak terhadap mereka, dan anak juga mendengarkan apa kemauan orangtua terhadap anak. Kemudian sesi diakhiri dengan penulisan kesepakatan yang disetujui serta ditandatangani oleh setiap anggota keluarga. Penulisan dapat berisikan mengenai tujuan atau target yang masing-masing keluarga tetapkan dalam jangka waktu panjang maupun pendek, aktifitas yang akan dilakukan masing-masing keluarga, serta peraturan keluarga yang disetujui dan lain sebagainya.

          Workshop “I am precious & My Family Loves Me!” diakhiri dengan menorehkan cap telapak tangan menggunakan cat berwarna merah pada kain putih panjang sebagai tanda bahwa setiap keluarga yang mengikuti workshop ini mendukung kesejahteraan anak-anak dan perempuan dari kekerasan seksual atau mendukung #STOPKEKERASANSEKSUAL dan menuliskan doa bagi bangsa Indonesia. Cat berwarna merah mewakili setiap darah yang tertumpahkan oleh korban kekerasan seksual sedangkan kain berwarna putih mewakili bangsa Indonesia dalam menjaga kesuciannya.






















Lampiran berita kasus kekerasan seksual

Karyawati Diperkosa, Dibunuh, Ditusuk Cangkul: Ada yang Aneh

TEMPO.CO, Tangerang - Polisi telah menangkap tiga tersangka kasus pembunuhan Eno Parihah, 29 tahun, karyawati PT Polita Global Mandiri, pabrik plastik yang berada di Kosambi, Kabupaten Tangerang. Mereka adalah Imam Pariadi (24), Rakhmat (20), dan pelajar SMP berinisial RA (15).

Tiga tersangka itu dianggap berkomplot untuk memperkosa dan menganiaya Eno secara sadis. Untuk memastikan peranan masing-masing tersangka, polisi telah menggelar prarekonstruksi di lokasi kejadian, yaitu mes Polita, Ahad malam lalu. Berdasarkan prarekonstruksi tersebut, terlihat sejumlah kejanggalan yang masih menyelimuti kematian gadis asal Serang, Banten, itu.

Kejanggalan pertama adalah keterangan RA yang mengaku sudah sebulan menjadi pacar Eno.  Teman-teman Eno menyangsikan keterangan itu, sebab usia RA jauh lebih muda dari korban.  Apalagi, selama ini, Eno dikenal bersikap dingin kepada laki-laki.  "Korban dikenal tertutup dan pendiam. Teman kerja dan keluarganya tidak tahu jika korban punya pacar, "ujar Kapolsek Teluk Naga Ajun Komisaris Supriyanto.

Sempat muncul anggapan jika RA menjadi otak kejahatan itu. Alasannya, dialah orang yang mengenal dan memiliki masalah dengan korban. Karena itu, dia memiliki motif kuat menyakiti Eno. Namun anggapan ini terasa janggal. Sebab, dari proses rekonstruksi, RA justru lebih banyak menjalankan perintah dari Imam dan Dayat.

Kejanggalan berikutnya juga terlihat dalam hubungan antara RA, Imam, dan Dayat. RA tidak kenal dengan dua pemuda itu sebelumnya. Namun mereka bisa berkomplot untuk menyakiti korban.
Kepada polisi, RA mengaku kesal saat meninggalkan mes Eno pada Kamis malam, 12 Mei lalu. Dia bertemu dengan Imam dan Dayat di dekat mes. Dua pemuda itu bertanya ihwal hubungan RA dengan Eno. RA saat ini menjawab tidak memiliki hubungan apa-apa. Namun dia justru mau ketika diajak kembali mendatangi korban. RA bahkan terlibat secara langsung memperkosa dan menganiaya Eno.
 
Kejanggalan lain adalah tindakan tersangka yang secara sadis menganiaya korban menggunakan gagang cangkul. Tindakan itu seakan-akan menunjukkan bahwa tersangka memiliki dendam terhadap korban.

Namun polisi belum bisa menyimpulkan apakah tersangka memang menyimpan dendam. “Kami masih perlu mendalami untuk memastikan motif di balik pembunuhan sadis ini,” kata Kepala Satuan Reserse dan Kriminal Polres Metro Tangerang Ajun Komisaris Besar Sutarmo.

JONIANSYAH HARDJONO









DAFTAR PUSTAKA
ejournal.kemsos.go.id/index.php/Sosioinforma/article/download/87/55





Comments

Popular Posts